Loading...
Wiki-Aisyiyah

Siti Walidah: Memimpin sebagai Seorang Ibu

Nama Siti Walidah selalu lekat dengan nama besar suaminya, Kiai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Bukan sekali dua kali Siti Walidah terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi pembaruan Islam yang berbasis di Yogyakarta itu. Kepemimpinan Siti Walidah di balik layar membuatnya sering dijuluki “Ibu Muhammadiyah”.

Siti Walidah lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada 3 Januari 1872. Di kampung itulah Walidah mendapatkan pelajaran agama dan pengetahuan dasar dari keluarganya. Ia sudah pandai mengaji sedari kecil berkat ajaran langsung sang ayah, seorang ulama terpandang di kampungnya. Menurut buku Nyai Ahmad Dahlan (1981) yang ditulis Suratmin, ayah Walidah merupakan kiai penghulu Keraton Yogyakarta bernama Haji Muhammad Fadlil. Selain menjadi penghulu, sang kiai juga dikenal sebagai juragan batik. Bersama istri satu-satunya, Kiai Fadlil memiliki tujuh orang putra dan putri. Walidah adalah anak tengah diapit kakak-kakaknya yang sebagian besar laki-laki. Kebetulan Kiai Fadlil hanya memiliki dua orang putri, Siti Munjiyah dan Siti Walidah. Sejak kecil keduanya dididik untuk menunaikan tugas-tugas rumah dengan berpedoman kepada ajaran Islam. Siti Walidah sudah dipingit sejak usia sembilan tahun. Begitu pula dengan kakak dan teman-teman perempuannya di Kampung Kauman.

Bakat Kepemimpinan

Meski tak diizinkan keluar rumah dan menghirup udara bebas di Kampung Kauman, Siti Walidah tak pernah berkecil hati. Ia selalu punya cara menyibukkan diri di rumah dengan mengaji atau membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Rumah merupakan madrasah kecil bagi Siti Walidah. Walidah juga tak pernah kekurangan teman, belum lagi ia pandai bergaul. Setiap hari rumahnya selalu ramai didatangi anak-anak yang ingin belajar mengaji kepada Kiai Fadlil. Selain siswa putra, ada juga siswa putri teman-teman sepermainan Walidah. Anak-anak putri mengikuti pengajian dengan duduk di lantai di dalam rumah. Sementara anak laki-laki ditempatkan di muka rumah.

BACA JUGA:   Siti Munjiyah

Fasilitas di kediaman Kiai Fadlil sudah cukup lengkap, ada bangku pendek, lampu, dan tikar sumbangan dari para orang tua murid. Di belakang rumah dilengkapi pula dengan sumur dan padasan (tempat wudu). Selama pengajian, Kiai Fadlil melihat putri keduanya sangat pandai mendorong kawan-kawannya agar cepat khatam Alquran. Ingin agar putrinya tumbuh lebih baik lagi, Kiai Fadlil segera memberi tugas kepada Siti Walidah untuk mengajar anak-anak yang lebih muda. Walidah menerima tugas tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.

Suratmin mencatat, agar anak-anak terdorong untuk mengaji, Walidah memberikan pelajaran tambahan kepada mereka. Syaratnya, anak-anak sudah harus menyelesaikan bacaan jika ingin mendengarkan pelajaran Walidah. Anak-anak menjadi sangat antusias, karena selayaknya Walidah, sebagian besar dari mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan formal sehingga menumbuhkan keingintahuan yang besar. Sesuai harapan sang ayah, Siti Walidah tumbuh menjadi pemimpin yang baik di lingkungan rumah. Kiai Fadlil lantas berpesan kepada putri keduanya itu agar kelak dapat membantu membuka langgar dan memulai kelompok pengajian.

Rumah Tangga dan Perjuangan

Sekitar 1889, saat berusia 17, Siti Walidah mendapat kabar dari Kiai Fadlil bahwa ayahanda Muhammad Darwis akan datang melamar. Muhammad Darwis masih terhitung sepupu Walidah. Kabar penikahannya dengan Darwis tak membuat Walidah kaget, karena rencana ini sebenarnya sudah dipersiapkan sejak lama. Upacara pernikahan dilaksanakan secara sederhana, kendati Darwis—yang kemudian dikenal dengan nama Ahmad Dahlan—merupakan putra orang berada dan Walidah adalah putri ulama terpandang. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah ternyata cocok.

Sebagaimana pesan Kiai Fadlil, pada 1 Desember 1911, Walidah mulai mendampingi suaminya membuka Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah di kediaman mereka di Kampung Kauman. Hanya berselang enam bulan, madrasah ini berkembang pesat dan memiliki murid sebanyak 62 orang.

BACA JUGA:   Siti Bariyah

Perjuangan Nyai Siti Walidah Dahlan tak lantas berhenti hanya menjadi pendamping hidup seorang pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Walidah teramat sedih saat melihat kondisi para buruh batik perempuan di Kampung Kauman. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan agama dan tidak bisa membaca. Walidah kemudian berdiskusi dengan suaminya dan timbullah keinginan untuk membina mereka.

Di kala sore hari Siti Walidah mengumpulkan para perempuan buruh batik di rumahnya. Dengan tekun ia mengajari mereka mengaji dan membaca. Tak hanya buruh batik yang turut bergabung menyimak pelajaran dari Walidah, para ibu-ibu pembantu rumah tangga dan istri juragan juga diberikan pelajaran yang sama, meski waktunya berbeda-beda. Gerakan yang dimotori Siti Walidah ini kemudian dikenal dengan sebutan Sopo Tresno (siapa cinta).

Sarkawi B. Husain dalam Sejarah Masyarakat Islam Indonesia (2017) menuliskan, melalui Sopo Tresno Siti Walidah berhasil menyadarkan perempuan bahwa mereka bukan subordinat laki-laki. Melalui programnya, Walidah mendorong para anggota Sopo Tresno untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya sehingga dapat menjadi pendamping yang sepadan dengan kaum laki-laki. Perkembangan Sopo Tresno, lanjut Husain, menarik perhatian para tokoh Muhammadiyah. Mereka ingin agar perkumpulan Sopo Tresno dapat menjadi organisasi perempuan Islam yang mapan.

Tokoh-tokoh penting Muhammadiyah seperti Kiai Mukhtar, Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Haji Fakhruddin, beserta pengurus Muhammadiyah lainnya kemudian mengadakan pertemuan dengan Kiai Ahmad Dahlan didampingi Siti Walidah di kediaman mereka. Pada 1917, atas usul Haji Fakhruddin, dipilihlan nama Aisyiyah sebagai pengganti Sopo Tresno.

Ibu Muhammadiyah dan Aisyiyah

Haedar Nashir dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2016) menyebutkan bahwa Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1959-1962) Muhammad Yunus Anis pernah memanggil Siti Walidah dengan julukan “Ibu Muhammadiyah dan Aisyiyah”. Layaknya seorang ibu, nasihat-nasihat Walidah memang senantiasa menginspirasi kedua organisasi tersebut. Kendati tidak pernah secara langsung memimpin organisasi Aisyiyah, Siti Walidah tetap menjadi sosok pemuka dalam organisasi Muslimah itu. Ia kerap tampil sebagai sosok ibu bagi para perempuan Aisyiyah, mengarahkan dan memimpin dari jauh.

“Betapa mencengangkan orang banyak yang menghadiri Kongres (Mu’tamar) Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, kota kebangsaan Indonesia pada tahun 1926 dengan munculnya seorang wanita yang sudah setengah tua memimpin kongres […] Beliau itu adalah Nyai Ahmad Dahlan, istri K.H.A Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah”

Yunus Anis

Kharisma keibuan Siti Walidah tak lekang meski usianya sudah senja. Suratmin kembali memaparkan dalam biografi Nyai Dahlan, meskipun dalam kondisi sakit-sakitan, Siti Walidah tetap memberikan dukungan kepada seluruh anak didik Muhammadiyah untuk menghadapi pendudukan Jepang. Ia bahkan berani melindungi anak-anaknya dari kemusyrikan dengan menentang perintah seikerei (menyembah matahari) dari pemerintah Jepang.

BACA JUGA:   Siti Hayinah

Selepas Proklamasi Kemerdekaan, lanjut Suratmin, dalam kondisi badan yang lemah Siti Walidah juga sempat memberikan nasihat kepada para pembesar negara. Mereka adalah Presiden Sukarno, Bung Tomo, dan Panglima Sudirman. Ketiganya pernah menjenguk Siti Walidah di Kampung Kauman saat tengah terbaring sakit. “Bung Karno beranggapan bahwa Nyai Ahmad Dahlan itu seperti ibunya sendiri dan juga seperti neneknya sendiri. Setelah beliau masuk rumah, langsung duduk di dekat ranjang dan pembicaraannya pun bebas. Seolah-olah bukanlah antara pemimpin negara dengan seorang warga masyarakat biasa,” tulis Suratmin mengutip kesaksian anak-anak dan cucu-cucu Siti Walidah.

* Tulisan ini diadaptasi dari tirto.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *