Loading...
DiscourseDiskusi Bulanan (DIBA)Updates

Reorientasi Riset tentang Aisyiyah

Salah satu program The Aisyiyah Center Universitas Aisyiyah Yogyakarta ialah Diskusi Bulanan (DIBA) yang diselenggarakan dalam beberapa series. Program ini dimaksudkan untuk mengembangkan kajian tentang Aisyiyah Studies sebagai sistem pengetahuan di perguruan tinggi Aisyiyah. Dalam serial kali ini, The Aisyiyah Center menghadirkan peneliti untuk mendorong pertumbuhan riset tentang Aisyiyah di Universitas Aisyiyah Yogyakarta.


  • Tema: Reorientasi Riset tentang Aisyiyah
  • Narasumber: (1) Dr. Askuri, Ketua The Aisyiyah Center; (2) Taufiqurrahman, Ph.D., Wakil Rektor I Universitas Aisyiyah Yogyakarta
  • Pelaksanaan: 6 Mei 2021, dilaksanakan secara online

Kedua narasumber mengeksplorasi perspektif tentang Aisyiyah dalam rangka memberikan pengetahuan mendasar tentang Aisyiyah bagi civitas academika Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Beberapa pokok pikiran yang dieksplorasi oleh narasumber kami rangkumkan dalam narasi sebagai berikut:

Pendahuluan

Fenomena dan pemberitaan media yang menayangkan berbagai kasus kejahatan yang korbannya kebanyakan adalah perempuan (wanita). Beberapa kasus kejahatan korbannya perempuan ini diibaratkan bagai Gunung Es, yang mencuat ke permukaan adalah sebagian kecil saja. Sosialisasi pemahaman keagamaan dan keilmuan yang lebih egaliter dan berkeadilan dimaksudkan untuk merekonstruksi nilai-nilai tradisional yang tidak lagi kondusif bagi proses perubahan sosial.

Bias jender, yang sering kali menghambat tercapainya masyarakat yang berkeadilan. Karena itu, diperlukan seperangkat analisis yang baik dan akurat dalam bidang akademik-keilmuan, yang pada gilirannya berakibat pada penyusunan dan pengembangan kurikulum dan silabus dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.

Meskipun berlimpah hadits yang berpandangan sangat positif terhadap perempuan, kaum konservatif lebih suka mengambil hadis-hadis misoginis, yaitu hadits-hadits yang membenci atau melecehkan perempuan sebagai pedoman, daripada mengambil hadits-hadits yang ramah terhadap perempuan. (M Amin Abdullah,”Agama dan Perempuan”,KOMPAS, 06 Februari 2013).

’Aisyiyah Organisasi Perempuan

Perempuan dan wanita (Ibu) memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan generasi suatu bangsa. Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya, sosok yang sangat dekat, yang pertama kali berinteraksi dengan anak. Ibu mengandung selama sembilan bulan, melahirkannya, menyusuinya, mengasuhnya. Kedudukan seorang perempuan dalam keluarga sangatlah strategis, khususnya dalam membangun pribadi-pribadi dalam sebuah keluarga.

Fungsi perempuan ketika menjadi ibu rumah tangga memiliki tanggung jawab moral terhadap anak-anaknya. Bagaimana penilaian dan dampak psikologi seorang anak jika ibunya seorang koruptor? Inilah yang seharusnya menjadi salah satu pertimbangan kaum perempuan agar memiliki rasa malu untuk tidak melakukan korupsi. Selain itu, di lingkungan domestik, perempuan juga bisa berperan mencegah suami berbuat korupsi dengan menunjukkan empati, kasih sayang, dan pengurusan rumah tangga yang baik, yang tak banyak menuntut pemenuhan materi. (Siti Nuryati, “Hari Keluarga dan Kehebatan Perempuan”, Sinar Harapan, 30 Juni 2014).

KH.Ahmad Dahlan sangat memperhatikan pembinaan terhadap perempuan dan wanita. Anak-anak perempuan yang potensial dibina dan dididik menjadi pemimpin, serta dipersiapkan untuk menjadi pengurus dalam organisasi wanita dalam Muhammadiyah. Di antara mereka yang dididik Kyai Dahlan ialah Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro (putri KH. A.Dahlan), Siti Dawingah, dan Siti Badilah Zuber.

Anak-anak perempuan pada saat itu (meskipun usianya baru sekitar 15 tahun) sudah diajak memikirkan masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan. Sebelum ‘Aisyiyah berdiri secara konkret terbentuk, sifat gerakan pembinaan wanita itu baru merupakan kelompok anak-anak perempuan yang senang berkumpul, kemudian diberi bimbingan oleh KH. Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan dengan pelajaran agama. Kelompok anak-anak ini belum membentuk suatu organisasi, tetapi kelompok anak-anak yang diberi pengajian. Pendidikan dan pembinaan terhadap wanita yang usianya sudah tua pun dilakukan juga oleh Kiai Dahlan dan istrinya (Nyai Dahlan). Mengingat pentingnya peranan wanita yang harus mendapatkan tempat yang layak, Kyai Dahlan, Haji Fakhrudin dan Nyai A.Dahlan mendirikan kelompok pengajian wanita yang anggotanya terdiri para gadis-gadis dan orang-orang wanita yang sudah tua. Dalam perkembangannya, kelompok pengajian wanita itu diberi nama Sapa Tresna. Haji Fakhrudin kemudian mengusulkan nama ‘Aisyiyah yang kemudian diterima oleh rapat tersebut. Nama ‘Aisyiyah dipandang lebih tepat bagi gerakan wanita ini karena didasari pertimbangan bahwa perjuangan wanita yang akan digulirkan ini diharapkan dapat meniru perjuangan Aisyah, isteri Nabi Muhammad, yang selalu membantu Rasulullah dalam berdakwah. Peresmian ‘Aisyiyah dilaksanakan bersamaan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad pada tanggal 27 Rajab 1335 H (19 Mei 1917 M). K.H.Mukhtar memberi bimbingan administrasi dan organisasi, sedang untuk bimbingan jiwa keagamaannya
dibimbing langsung oleh KH. Ahmad Dahlan.

‘Aisyiyah berkembang semakin pesat dengan aktivitas dan menemukan bentuknya sebagai organisasi perempuan dan wanita modern. ‘Aisyiyah mengembangkan berbagai program untuk pembinaan individu dan komunalitas terutama di bidang sosial dan pendidikan wanita. Dalam hal pergerakan kebangsaan, ‘Aisyiyah juga termasuk organisasi yang turut memprakarsai dan membidani terbentuknya organisasi wanita pada tahun 1928. Dalam hal ini, ‘Aisyiyah bersama dengan organisasi wanita lain bangkit berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Badan federasi ini diberi nama Kongres Perempuan Indonesia yang sekarang menjadi KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). Lewat federasi ini berbagai usaha dan bentuk perjuangan bangsa dapat dilakukan secara terpadu.
Di antara aktivitas dan kaderisasi perempuan ‘Aisyiyah ialah Siswa Praja Wanita bertugas membina dan mengembangkan puteri-puteri di luar sekolah sebagai kader ‘Aisyiyah daan kader masyarakat dan bangsa. Pada Kongres Muhammadiyah ke-20 tahun 1931 Siswa Praja Wanita diubah menjadi Nasyi’atul ‘Aisyiyah (NA).

Di samping itu, ‘Aisyiyah juga mendirikan Urusan Madrasah bertugas mengurusi sekolah/ madrasah khusus puteri, Urusan Tabligh yang mengurusi penyiaran agama lewat pengajian, kursus dan asrama, serta Urusan Wal’asri yang mengusahakan beasiswa untuk siswa yang kurang mampu. Selain itu, ‘Aisyiyah pada tahun 1935 juga mendirikan Urusan Adz-Dzakirat yang bertugas mencari dana untuk membangun Gedung ‘Aisyiyah dan modal mendirikan koperasi.

BACA JUGA:   Jilbab dan Perempuan Muslim Jawa

‘Aisyiyah, Karakter dan Budaya Bangsa

Sebagai perempuan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah kemudian tumbuh menjadi organisasi otonom yang berkembang ke seluruh penjuru tanah air. Menginjak seabad gerakannya, ‘Aisyiyah (1917-2017) telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (setingkat Propinsi), 370 Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2.332 Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (setingkat Kecamatan) dan 6.924 Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (setingkat Kelurahan). Hampir di seluruh penjuru tanah air, baik di kota maupun di desa dapat kita temukan TK ‘Aisyiyah dengan mudah. TK ‘Aisyiyah merupakan salah satu hasil riil gerakan ‘Aisyiyah di bidang pendidikan.Jika kita berbicara tentang ‘Aisyiyah maka tidak bisa kita lepaskan dari organisasi keagamaan Muhammadiyah.Karena ‘Aisyiyah adalah salah satu anak cabang Muhammadiyah, yaitu divisi kewanitaannya.

‘Aisyiyah kemudian aktif dan terlibat dalam hal pergerakan kebangsaan dan nasional. ‘Aisyiyah juga termasuk organisasi yang turut berpartisipasi dan memprakarsai dan membidani terbentuknya Organisasi Wanita Indonesia pada tahun 1928. ‘Aisyiyah bersama dengan organisasi wanita lain bangkit berjuang untuk mencerdaskan dan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Badan federasi ini diberi nama Kongres Perempuan Indonesia yang sekarang menjadi KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). Lewat federasi ini berbagai usaha dan bentuk perjuangan bangsa dapat dilakukan secara terpadu.

‘Aisyiyah berkembang semakin pesat dan menemukan bentuknya sebagai organisasi wanita modern dengan mengembangkan berbagai program untuk pembinaan dan pendidikan wanita.Di antara aktivitas ‘Aisyiyah ialah Siswa Praja Wanita bertugas membina dan mengembangkan puteri-puteri di luar sekolah sebagai kader ‘Aisyiyah. Pada Kongres Muhammadiyah ke-20 tahun 1931 Siswa Praja Wanita diubah menjadi Nasyi’atul ‘Aisyiyah (NA). Di samping itu, ‘Aisyiyah juga mendirikan Urusan Madrasah bertugas mengurusi sekolah/ madrasah khusus puteri, Urusan Tabligh yang mengurusi penyiaran agama lewat pengajian, kursus dan asrama, serta Urusan Wal’asri yang mengusahakan beasiswa untuk siswa yang kurang mampu. Selain itu, ‘Aisyiyah pada tahun 1935 juga mendirikan Urusan Adz-Dzakirat yang bertugas mencari dana untuk membangun Gedung ‘Aisyiyah dan modal mendirikan koperasi.

Peran ‘Aisyiyah dalam membangun karakter dan budaya bangsa adalah bagaimana ‘Aisyiyah ikut sumbangsih dalam mendirikan lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak. Muhadjir beberapa waktu lalu sempat menjelaskan bahawa salah satu kekuatan terbesar persyarikatan Muhammadiyah adalah pendidikan, maka dari itu dengan adanya PAUD dan TK ‘Aisyiyah lebih berperan dalam membangun karakter bangsa di banding lembaga pendidikan karakter yang bersumber dari Islam itu benar-benar bisa diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai itu beragam bentuknya dan keadilan, kebaikan, kemakmuran dan kemaslahalan.Namun lebih prioritas dari itu semua adalah karakter keutamaan hidup secara dinamis.Yaitu berusaha menampilkan spiritualitas yang dimiliki, yang diyakini menjadi spiritualitas yang dinamis tidak ajeg.Dari keshalihan individu menjadi keshalihan sosial. Artinya tidak sebatas menjadi orang baik yang taat pada nilai spiritual itu, namun lebih dari itu perbuatan baik itu bermanfaat bagi orang lain. Hal itu lah yang menjadi ideologi Muhammadiyah selama ini.

‘Aisyiyah Afirmasi Kebijakan Perempuan

Sejarah bangsa Indonesia telah menunjukkan perjuangan untuk kesetaraan perempuan adalah pertarungan dan perjuangan untuk melawan narasi-narasi utama yang dibentuk kekuasaan patriarki dalam politik, agama, dan adat istiadat dari zaman Kartini sampai zaman kemerdekaan ini.
Pada tahun 1939 ‘Aisyiyah melakukan Afirmasi kebijakan dengan memberi perlakuan ”khusus” dan mendobrak kebekuan feodalisme dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat sekaligus melakukan advokasi pemberdayaan kaum perempuan Indonesia.

‘Aisyiyah telah mampu menunjukkan komitmen dan kiprahnya untuk memajukan kehidupan kaum perempuan dan masyarakat khususnya wanita dalam menciptakan jaringan pendidikan dan literasi keilmuan. Guna membuktikan jalan dan potensi perempuan akan mampu menunjukkan kontribusi dan mewujudkan kemampuannya, baik dalam tataran konsep maupun eksekusi di tataran konkret.
Aisyiyah bahkan mampu menerjemahkan literasi keluarga, agama dan sosial sebelum zaman Millinial. Masa di mana hampir semua orang sudah memiliki telepon genggam, perempuan dan orang muda disebut sebagai generasi millennial atau generasi Y sudah terkoneksi satu sama lain melalui Facebook dan Twitter.

Berbagai narasi dan kebijakan publik telah dirancang dan dibuat untuk mengatur perempuan. Mulai dari kisah di kitab suci, dongeng yang dikisahkan turun-temurun, buku agama, hingga karya sastra, dan bahkan kini konten-konten yang diproduksi di internet. (Okky Madasari, “Narasi Perempuan di Lini Masa”, JAWA POS, 21 April 2016).

Selain itu, tak dapat dimungkiri peran perempuan dan wanita (sekaligus) ibu sangat sentral dalam memberi contoh Pendidikan Tinggi dan mendidik anggota keluarga, terutama anak-anak. Di Univeristas Gadjah Mada fakultas- fakultas sains, seperti Kedokteran dan Teknik jumlah mahasiswinya lebih banyak dibandingkan jumlah mahasiwa. Bahkan beberapa Fakultas, seperti; Dekan Fakultas Kedokteran Umum, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, dll dijabat perempuan dengan Gelar Prof. Doktor dengan berbagai prestasi akademiknya.

Perempuan Tiang Ekonomi Keluarga

Peran ekonomi kaum perempuan Indonesia sungguh tidak dapat diremehkan dilupakan oleh penyelanggara negeri ini. Ketika krisis ekonomi 1998 hinggi kini sangat memberatkan kehidupan rumah tangga, kaum perempuan mampu tampil sebagai penyelamat dan mengambil alih peran sebagai kepala keluarga. Dalam keadaan krisis yang menghimpit, perempuan Indonesia memiliki visi dan kreativitas yang lauar biasa. Perempuan Indonesia mampu meretas jalan keluar untuk menyelamatkan kehidupan keluarganya.

Pada sisi lain, jumlah korporasi ekonomi didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sangat besar. Menurut Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (UKM), jumlah usaha mikro sekitar 50,70 juta unit (98,90%), usaha kecil sekitar 520.220 unit (1,01%), dan usaha menengah 39.660 unit (0,08%), sedangkan usaha besar sekitar 4.370 unit (0,01%).

Pelaku UKM, mayoritas atau 60-80% adalah kaum perempuan. UKM dengan mayoritas pelaku usaha perempuan masih dijauhi kucuran kredit bank untuk memperkuat usaha mereka. Dari total kredit bank yang mengalir ke sektor UKM sebesar 51,34% sedangkan usaha besar mendapatkan 48,66%. Sekali lagi usaha besar yang jumlah unit dan serapan tenaga kerjanya kecil, jauh lebih banyak mendapatkan kucuran kredit bank. (Norbertus Kaleka, Kaum Ibu dan Pengelolaan Sampah SM,22 Juni 201).

BACA JUGA:   Siti Munjiyah

‘Aisyiyah peduli terhadap kesejahteraan sosial dan usaha pemberdayaan ekonomi ini datam bentuk koperasi (termasuk koperasi simpan pinjam), Baitul Mal wa Tamwil, toko/kios, Bina Usaha Ekonomi Keluarga ‘Aisyiyah (BUEKA), home industri, kursus ketrampilan dan arisan. Jumlah amal usaha di bidang ini mencapai 503 buah.

Penelitian dari McKinsey Global Institute awal 2015 melaporkan temuan menarik bahwa keragaman dan keterwakilan jender pada perusahaan berkaitan dengan kinerja perusahaan.Dow Jones dalam ”Women At The Wheel: Do Female Executives Drive Start-Up Success?” dengan meneliti lebih dari 20.000 perusahaan yang dibiayai oleh venture capital (sering disebut start up atau rintisan usaha) dan 167.556 orang eksekutif, 11.193 di antaranya perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa perusahaan yang dibiayai oleh venture capital dengan perempuan pada peran eksekutif lebih mungkin sukses daripada perusahaan yang hanya memasang laki-laki pada peran eksekutif senior.

Fungsi perempuan ketika menjadi ibu rumah tangga memiliki tanggung jawab moral dan penyemai masa depan anak-anaknya. Kaum perempuan agar memiliki rasa malu untuk tidak melakukan korupsi. Selain itu, di lingkungan domestik, perempuan juga bisa berperan mencegah suami berbuat korupsi dengan menunjukkan empati, kasih sayang, dan pengurusan rumah tangga yang baik, yang tak banyak menuntut pemenuhan materi.

Termasuk dalam masalah sampah keluarga kaum perempuan tidak lepas menjadi produsen sampah. Sejak lahir hingga mati. Dari hitungan rata-rata, setiap orang menghasilkan sampah sekitar 0,5 kg per hari. Bila sebuah keluarga mempunyai anggota minimal 4 orang, yaitu ayah, ibu dan dua orang anak, maka sebuah rumah tangga memproduksi sampah 2 kg per hari atau 60 kg sampah per bulan. Keluarga atau rumah tangga menjadi produsen sampah, bahkan sekitar 70% dari total buangan sampah adalah sampah rumah tangga.

Air minum dikemas dengan botol plastik untuk menggantikan botol kaca, agar tidak mudah pecah dan lebih ringan. Produk-produk tersebut praktis dan ekonomis, tetapi secara ekologis berdampak buruk karena menjadi sampah yang tidak mudah terurai di alam hingga puluhan tahun. Sebagian besar merupakan sampah organik dan sisanya adalah sampah anorganik. Menurut estimasi kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (2008) jenis sampah yang dominan adalah sampah dapur (58%), sampah plastik (14%), sampah kertas (9%), sampah kayu (4%), dan sampah lainnya seperti karet, kaca, kulit, atau kain (15%).

Di beberapa daerah kaum perempuan dan ibu-ibu Rumah tangga mampu membuat kerajinan tangan dari bahan-bahan bekas bungkus Kopi dari plastik dijadikan buah tangan dan souvenir, seperti; tas, payung, dompet dan lain sebagainya. Pada satu sisi memanfaatkan barang bekas dan di sisi lain mencari nilai tambah dalam bidang ekonomi dan entrepreneur.

Perempuan, domestik dan publik

‘Aisyiyah dan organisasi perempuan lainnya mempunyai peran dan mampu melakukan usaha untuk memperbaharui/memperbaiki pemahaman terhadap agama Islam untuk tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi derajat kaum perempuan. Kaum perempuan sendiri perlu mengeluarkan potensinya melampaui konstruksi jender yang ada di sekitar mereka. Di dunia teknologi informasi dan media, agar kaum perempuan terus memanfaatkan kesempatan akses dan peningkatan keterampilan dan kompetensi yang disediakan teknologi dengan segala fasilitas yang ada hingga menduduki karier dan jabatan yang maksimal.

Teknologi informasi, khususnya internet, adalah salah satu sarana paling jitu bagi perempuan untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas diri. Manfaat internet terbaik adalah memberikan kesetaraan kepada setiap insan, kesetaraan untuk mengakses kesempatan berkreasi. Teknologi ini bak jendela yang membuka khazanah publik hadir tepat di depan ruang domestik yang selama ini identik dengan perempuan. Namun, jangan justru terlena karena ”jendela” itu juga menyediakan kemudahan menghibur diri sepanjang hari. (Dian Siswarini”C- Suites”, Perempuan, dan Teknologi, KOMPAS, 21 Januari 2016).
Di Indonesia, peluang perempuan di Sektor publik terus disemangati dan diberi ruang agar memberi perhatian khusus pada keterwakilan jender di institusi masing-masing. Pernyataan dan inisiatif perusahaan global, seperti Facebook dan Google patut jadi inspirasi untuk bersikap dan bertindak. Pemerintahan harus didukung untuk terus mengadopsi gagasan pengarusutamaan jender melalui kebijakan dan penganggaran, agar implementasinya merata, bukan hanya di kota- kota besar.

Pemberdayaan perempuan sejatinya adalah aksebilitas. Seperti, Amartya Sen (1981), mengdiutarakan kemiskinan terjadi akibat capability deprivation (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Ketidakbebasan masyarakat yang substantif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi. Dengan demikian, kemiskinan diakibatkan keterbatasan akses. Jika manusia mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan hidupnya, akibatnya manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan.

Dalam banyak studi telah diuraikan, adanya relasi antara program pemberdayaan perempuan dan upaya menekan angka kemiskinan. Jika program penguatan perempuan ini optimal bergerak, diasumsikan lebih dari separuh program pengentasan kemiskinan dianggap sukses. Laporan riset World Bank Group in Women, Business and the Law 2016 yang disampaikan Sri Mulyani (2015), bahwa pada era 1990-an hanya sedikit negara yang punya aturan hukum melindungi perempuan dari kekerasan.

Semakin banyak perempuan punya kendali terhadap pendapatan rumah tangga, semakin besar partisipasi mereka dalam aktivitas ekonomi. Semakin banyak perempuan masuk sekolah menengah, semakin besar pula keuntungan untuk anak-anak mereka, masyarakat, dan negara. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan terkait erat dengan dampak kemandirian.

Gerakan Literasi dan pemberantasan kebodohan yang dilakukan ‘Aisyiyah menjadi salah satu pilar perjuangan ‘Aisyiyah dicanangkan dengan mengadakan pemberantasan buta huruf pertama kali, baik buta huruf Arab maupun Latin pada tahun 1923. Dalam kegiatan ini para peserta yang terdiri dari para gadis dan ibu- ibu rumah tangga belajar bersama dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia publik. Selain itu, pada tahun 1926, ‘Aisyiyah mulai menerbitkan majalah organisasi yang diberi nama Suara ‘Aisyiyah (1923-2017), yang awal penerbitannya menggunakan Bahasa Jawa. Melalui majalah bulanan inilah ‘Aisyiyah antara lain mengkomunikasikan semua program dan kegiatannya termasuk konsolidasi internal organisasi.

BACA JUGA:   UNISA Menuju Kampus Ramah Anak

Sejalan dengan pengembangan pendidikan yang menjadi salah satu pilar utama Aisyah melalui Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah serta Majelis Pendidikan Tinggi, Aisyíyah mengembangkan visi pendidikan yang berakhlak mulia untuk umat dan bangsa.Dengan tujuan memajukan pendidikan (formal, non-formal dan informal) serta mencerdaskan kehidupan bangsa hingga terwujud manusia muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, cinta tanah air dan berguna bagi masyarakat serta diridhai Allah SWT, berbagai program dikembangkan untuk menangani masalah pendidikan dan keluarga.

Sementara pekerjaan dan tanggung jawab yang biasa dilakukan seorang ibu yang notabene adalah perempuan, dengan membuatnya menjadi suatu daftar pekerjaan, betapa banyak tugas yang dikerjakan sang perempuan bernama ibu dan betapa besarnya pengorbanan yang dilakukannya. (Siti Nuryati, “Hari Keluarga dan Kehebatan Perempuan”, Sinar Harapan, 30 Juni 2014).

Keluarga, Bangsa dan Negara

Membina keluarga merupakan sebuah perjalanan hidup yang panjang, dan diharapkan terlaksana sampai akhir hayat, pasti akan melewati riak dan gelombang kehidupan berupa persoalan berkeluarga yang tidak mudah. Rumah tangga (keluarga) diibaratkan sebuah bahtera, maka nahkodanya adalah pasangan suami-istri.

Ibarat sebuah madrasah atau training center, maka ditangan suami-istri tanggung jawab tugas-tugas kependidikan dan kepemimpinan bagi seluruh peserta didik yang dalam hal ini adalah anak dan anggota keluarga, berupa pengembangan potensi (fithrah) spiritual mereka sesuai tuntunan Islam. Oleh karena Islam merupakan sebuah sistem yang utuh, maka pembinaan spiritual ini meliputi bidang akidah (tauhid), akhlak, ibadah, dan mu’amalah dunyawiyyah, serta menjangkau ranah kognisi, afeksi, dan psikomotorik yang terwujud dalam bentuk spiritualitas.

Pengelolaan keluarga harus dilakukan sepanjang waktu karena persoalan keluarga dapat muncul kapan saja, dan itu juga merupakan bagian dari dinamika berkeluarga. Dalam proses pemecahan persoalan yang dihadapi, antara suami isteri harus ada kesamaan persepsi serta menggunakan langkah yang sama. Proses pemecahannya juga harus memanfaatkan tiga macam kecerdasan yang dimilikinya, yaitu IQ (Kecerdasan Intelektual), EQ (Kecerdasan Emosional), dan SQ (Kecerdasan Spiritual) secara integratif. Biasanya ketika suatu keluarga sedang menghadapi masalah suasana emosi menjadi gundah. Pada saat suasana seperti itu sebaiknya emosi ditenangkan dulu, kemudian hari dibawa kepada penyerahan diri kepada Allah sehingga kegundahan mereda dan emosi menjadi tenang.

Proses membina dan merawat keluarga harus melewati suatu upacara sakral, dan nilai kesakralan itu hadir karena pernikahan harus dilaksanakan atas nama Allah Swt sebagai wujud dari ketaatan pasangan muslim dan muslimah kepada Allah. Nilai kesakralan itu merupakan ekspresi dari pengakuan adanya nilai spiritual yang hakiki yaitu nilai ketuhanan, nilai Ilahiyah Tauhidiyah sebagai sumber dari nilai nilai spiritual terkait dengan kehidupan manusia, dan dalam hal ini terkait dengan kehidupan berkeluarga. Semua nilai kehidupan yang bersumber dari ajaran dan petunjuk Allah Swt adalah nilai spiritual, lima di antaranya adalah nilai tentang kasih sayang, kebersamaan, kejujuran, keadilan, dan keindahan.

Sebuah keluarga dibangun di atas landasan spiritual karena berkeluarga merupakan salah satu perintah Allah SWT bagi manusia dalam rangka melaksanakan tugas kemanusiaan, yaitu sebagai khalifah (wakil dana agen) Allah di bumi. Oleh karena itu sebagai Dzat Pemilik manusia Allah SWT telah mengisyaratkan adanya panduan nilai-nilai spiritual dalam membangun keluarga, mulai pada pelaksanaan upacara pernikahan sampai pada ketika pasangan suami isteri membangun keluarga dilandasi dengan nilai ketuhanan Ilahiyah Tauhidiyah nilai-nilai spiritual merupakan fitrah (bakat) pemberian Allah Yang Maha Pengasih pada awal kejadian manusia sebagai modal dasar kehidupan bagi manusia, dan tertanam dalam hati nurani, suara hati, atau qalbu (conscience). Dengan adanya ruh dan dan nafas spiritualitas ini maka segala dinamika dan suasana kehidupan dalam keluarga akan memunculkan rasa tentram, aman, dan damai pada jiwa setiap anggota keluarga.

Dari pengertian tersebut terkandung dua nilai terkait ikatan pernikahan, yaitu ikatan suami-istri dengan Allah Swt sebagi tanda ketaatan dan ikatan kepada negara sebagai jaminan hukum. Dengan mendasarkan pada dua ikatan tersebut maka diharapkan pasangan suami isteri akan memiliki kesadaran kesakralan dari ikatan sebuah perkawinan yang merupakan ikatan perjanjian suci (mitsaqan ghalida) sehingga akan bersungguh-sungguh dalam menjaga kebahagiaan dan kelanggengan keluarga.

Penutup

Organisasi Otonom ‘Aisyiyah sudah memerankan dan memberi kontribusi sedikit demi sedikit mewujudkan visi maupun misi yang telah dibuat. Seabad gerakannya, ‘Aisyiyah (1917-2017) telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (setingkat Propinsi), 370 Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2.332 Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (setingkat Kecamatan) dan 6.924 Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (setingkat Kelurahan) dengan amal usaha yang bergerak di berbagai bidang, yaitu: pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat.

Kontribusi Aisyiyah bidang pendidikan cukup signifikan dan luar biasa. Ada 4.560, Kelompok Bermain, Taman Pengasuhan Anak, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Pendidikan Tinggi; Akademi Kesehatan dan Perawatan, Sekolah Tinggi Kesehatan dan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.

Di bidang Kesehatan berupa Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Badan Kesehatan Ibu dan Anak, Balai Pengobatan dan Posyandu secara keseluruhan berjumlah 280 yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai gerakan yang peduti terhadap kesejahteraan sosial masyarakat, Aisyiyah hingga kini memiliki 459 amal usaha seperti Rumah Singgah Anak Jalanan, Panti Asuhan, lembaga Dana Santunan Sosial, tim Pangrukti Jenazah dan Posyandu. Sebuah modal sosial dan modal Perempuan Indonesia yang luar biasa bagi agama, bangsa dan Negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *