Fatmawati, ibu negara pertama. Dikenal pula sebagai penjahit bendera Sang Saka Merah Putih. Pada jari dan sentuhan tangannya yang lembut itu pertama kali bendera merah putih berkibar gagah. Seorang perempuan cantik putri seorang aktivis Muhammadiyah dari Bengkulu.
Konon untuk mempersunting Fatmawati, Soekarno harus berdarah-darah. Namun Soekarno juga harus berpisah dengan Fatmawati yang dengan amat susah disuntingnya karena kehadiran Hartini. Sebab Fatmawati pantang dipoligami karena itu pula ia juga dikenal anti-poligami.
”Datang ke Mekkah sudah menjadi pendaman cita-citaku, saban hari aku melakukan dzikir dan membaca syahadat serta memohon supaya diberi kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdoa untuk cita-cita seperti semula yaitu Indonesia merdeka”
Fatmawati Sukarno
Pernikahannya adalah perjuangan di tengah bising perang. Lima putra dan putri dipersembahkan. Dari perempuan aktivis Aisiyah yang santun dan penyabar itu.
Kami tidak pernah merayakan perayaan pernikahan emas atau pernikahan perak. Sebab itu kami anggap soal remeh, sedangkan kami selalu dihadapkan pada persoalan besar dan dahsyat, katanya lagi suatu ketika.
Fatmawati Sukarno
Merawat Sejarah
Hasan Din, ayahnya adalah konsul Muhammadiyah Bengkulu, rela keluar dari perusahaan Bersomij milik Belanda, tempatnya bekerja karena tak mau aktivitasnya di Muhammadiyah terganggu. Hasan Din adalah keturunan ke 6 Kerajaan Indrapura dari jalur Putri Galur yang berarti lembut dan anggun. Siti Chadijah, istrinya, adalah aktivis Aisyiyah, sebuah perkoempoelan perempoen di bawah Muhammadiyah.
Ibunda Fatimah yang lebih populer disebut Fatmawati adalah sosok perempuan pejuang, penyabar dan anggun. Bisa dikatakan bahwa Muhammadiyah kurang pintar dalam hal merawat kesejarahan. Deretan para pejuang dan pahlawan yang lahir dari rahim Muhammadiyah seperti tak terurus dengan alasan tak dicontohkan Rasulullah.
Sebut saja Ki Bagoes Hadikoesoemo, Mr Kasman Singodimedjo, Abikusno Tjokrosoejoso, Ahmad Juanda, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Mr Muhamad Natsir, Mr Muhammad Roem, Soekarno, termasuk ibunda Fatmawati. Siapa kenal mereka sekarang? Bahkan Kiai Haji Ahmad Dahlan, Kiai Haji Ibrahim, Kiai Haji Fakhruddin, Buya AR Sutan Mansoer, Buya Hamka, Kiai Haji Azhar Bashir dan Pak AR Fakhrudin, semuanya seperti lenyap ditelan bumi. Memang tak ada anjuran mengenang orang mati.
Tapi kita lupa bahwa peradaban dibangun oleh orang-orang yang sudah mati itu. Abu Bakar mati, begitu pula dengan Umar, Utsman, Ali semuanya telah mati. Bukhari, Muslim, Al Maturidy, Al Asy’ary, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Katsir, Washil, Jaham, al Ghazali, Rumi, Halaj, Rabbiah, Ma’ududi, Jinnah, Abduh, Ridha, Afghan juga telah mati.
Bersyukur kita punya Buya Syafi’i Maarif, Prof Malik Fadjar, dan Prof Din yang mencoba tetap mendekat kepada anak cucu Hasan Din, konsul Muhammadiyah Bengkulu itu. Tetap mendampingi sebagai upaya merawat wasiat sesama para aktivis persyarikatan pendahulu. Setidaknya ada upaya tetap menjaga silaturahim dengan dzuriyah Hasan Din dan Siti Chadidjah, dua aktivis persyarikatan di Bengkulu.
Bukankah Soekarno, bapaknya ibu Megawati berulang kali berwasiat kepada kita: ”Jika aku mati kibarkan panji-panji Muhammadiyah.” Lalu apa yang sudah kita lakukan untuk melaksanakan wasiat itu. Hasan Din kakeknya Guntur, Mega, Rahma, Sukma dan Guruh adalah kader persyarikatan, dan Fatmawati, eyang putrinya, adalah aktivis Aisiyah yang dilupakan.